Salah seorang murid yang suka saya godain berkomentar,"Hahahaha...Ibuuu,nulis di koran,kalo ngajar nggak boleh pakai marah-marah.nanti belajar nggak akan efektif. Ibu bisa dituntut,ngomong kayak gitu." Dia tertawa saat mengucapkan ini, karena anak-anak memang dekat sama saya.
Saya bukan tipe guru galak,tapi lebih ke arah disiplin. Pada salah seorang ketua osis labschool (2009) ,saya bilang,"Kegiatan osis tidak boleh mengalahkan les di bu rini, walaupun kamu ketua. Saat les harus tetap les apapun alasannya." Kalau sudah berbicara seperti itu, mimik muka saya buat serius sehingga murid tahu keseriusan saya.
Suatu saat, murid saya tidak bisa datang les karena ada les saxophone di tempat lain. Saya bilang ke murid itu, "Kalau matematikamu remedial, kamu minta diajari sama guru saxophone itu yaaa. Jangan sama bu rini." Murid saya cuma terdiam.
"Ibuuu, mohon maaf saya terlambat datang les karena ada latihan tari Saman untuk pentas." begitu sms murid perempuan saya yang lain. Sengaja, tidak saya jawab sms itu, karena saya memang suka akting di depan murid-murid agar waktu belajar tidak terganggu oleh kegiatan yang lain.
Namun saya juga akan mendorong murid yang hobinya hanya belajar. "Ani, berkegiatan dan berorganisasi itu sama pentingnya dengan belajar. Karena kemampuan berorganisasi sangat berguna ketika kamu kerja nanti.
"Budi, tolong terangkan materi trigonometri ini pada temanmu."
"Nggak bisa ah, Bu. Saya nggak bisa ngomongnya."
"Ayo, kalian harus berani dan mau ngomong di depan teman-teman kalian. Nanti suatu saat kalian jadi direktur, presiden, menteri, manager, dll, harus bisa ngomong."
Akhirnya, hampir semua murid saya mau berbicara di depan kelas untuk menerangkan suatu materi pada temannya.
Bagi saya,tugas guru bukan hanya mengajarkan materi. Tetapi ada tugas yang sangat mulia yaitu mendidik, membuat anak-anak menjadi berkembang.
Saya selalu menekankan pada murid untuk membagi waktu antara bermain, belajar, berkegiatan, dan berorganisasi secara seimbang.
Saat mengajar, serius sekali ketika mengajar. Hingga jika ada pulpen jatuh pun, murid-murid tidak akan serta-merta mengambilnya. Saat memulai mengajar, pandangan saya edarkan ke seluruh kelas. Saat masih ada satu anak saja mencari-cari alat tulis di tas, saya tunggu anak tersebut hingga ia merasa sungkan sendiri.
Ketika semua mata sudah tertuju ke layar infokus, baru saya mulai pelajaran tersebut. Saya selalu bilang ke anak-anak, "Pelajaran matematika membutuhkan konsentrasi. Jadi tolong, saat bu rini mengajarkan materi,kalian konsentrasi penuh. Dengan konsentrasi saja, belum tentu kalian langsung mengerti. Apalagi kurang konsentrasi."
Alhamdulillah, proses belajar di tempat saya menjadi sangat nyaman dan tanpa beban. Karena murid tahu, kapan saat mereka bercanda, kapan saat mereka berkonsentrasi. Murid tidak merasa terbebani karena saya tidak mengharuskan mereka mencapai nilai tinggi maupun nilai sempurna. Yang saya tekankan adalah proses belajar dan usaha belajar. Nilai baik pasti akan mengikutinya.
Salah seorang teman, Yanti - PL'90, sampai merasa heran ketika mengamati langsung bagaimana saya mengajarkan materi pada anak-anak. "Santai sekali sikapmu, Rin. Tanpa beban sama sekali. Kamu pun tidak pernah melihat hasil pekerjaan murid. Bagaimana kamu yakin murid-muridmu bisa mengerjakan soal?"
Begitu saya mengucapkan setiap kata dan setiap kalimat, saya akan selalu bertanya pada murid, "Mengerti?" Kalau murid diam saja, berarti masih berpikir. Saya tunggu sejenak mereka berpikir. "O, iya Bu, saya mengerti." "Bu, saya masih belum ngerti yang itu..." kata murid yang lain. "Nabil, tolong terangkan pada temanmu. Mengapa bisa seperti itu." Jawaban murid yang lain, "O iya, O iya, ngerti-ngerti." katanya sambil tertawa.
Setelah saya yakin, semua anak bisa, saya baru melanjutkan pada kalimat dan langkah selanjutnya.
Tetapi ada juga satu atau dua anak masih belum mengerti. Biarkan saja dulu, nanti juga lambat laun akan mengerti. Saya tidak akan memaksakan anak harus paham saat itu juga dengan materi yang kita ajarkan. Menghadapi anak seperti ini, saya katakan pada anak itu agar bertanya bagaimana caranya mendapat jawaban dari temannya yang sudah lebih dahulu paham.
Pemberian motivasi merupakan bagian terpenting dalam proses belajar. "Ayo, nak, kamu bisa karena kamu pintar. Ayo, berpikir sejenak, pasti bisa."
Anak akan merasa bahagia saat belajar jika mereka merasa bisa dengan materi yang dipelajarinya. Oleh karena itu setiap materi pelajaran saya uraikan menjadi langkah-langkah kecil sehingga hampir semua murid dapat memahaminya. "Waaaah, ternyata trigonometri itu asyik ya? Lucu, mudah, dan tidak seperti yang saya bayangkan." komentar Nenis. Sekolah Nenis belum mengajarkan trigonometri, namun dia bisa dengan mudah menyerap materi trigono yang saya ajarkan. Begitu juga komentar teman-teman Nenis yang lain.
Biasanya murid pulang dari rumah saya dengan perasaan bahagia karena mereka merasa bisa.
Tetapi adakalanya anak pulang dengan rasa gundah gulana. Ini biasanya terjadi pada murid yang terlalu "ndableg" untuk diingatkan. Model anak-anak seperti ini biasanya juga punya banyak masalah di rumah dan di sekolah, hingga orang tuanya merasa angkat tangan. Menghadapi anak seperti ini, saya bersikap tegas, "Nurut sama bu rini, biar kamu jadi anak pintar! Mau nurut atau tidak? Karena kamu pada dasarnya pintar." Biasanya mereka menjawab, "Mau, Buu.' sambil tertunduk.
Butuh waktu satu tahun untuk "menjinakkan" model anak seperti ini.
Hingga suatu saat, saya pernah memiliki murid yang paling "ndableg" dan akhirnya paling sayang terhadap saya. Belum pernah ada guru les yang bertahan lama menghadapi anak itu. Dua minggu les di Lia dikeluarkan oleh pihak Lia karena main sepak bola dalam kelas saat guru menerangkan. Waktu itu, saya bersikap amat sangat galak terhadapnya. Bukan saja dia berani melempar kulit kacang ke arah kepala saya, tetapi kata-kata "binatang kaki empat" juga keluar ketika mengumpat saya. Tetapi saya tidak mau kalah dengan anak model seperti ini. Hingga kemudian, hubungan emosional antara saya dengan anak ini menjadi sedemikian dekatnya. Kita suka makan bakso bareng, makan empek-empek bareng, di saat-saat les. Waktu les 2 jam hanya kita gunakan 1/2 jam, selebihnya untuk makan bareng-bareng bersama dengan teman satu kelompoknya.
"Mengapa orang tua tidak protes?" Karena orang tua memang sudah menitipkan anaknya pada saya, dan mereka tahu apa yang saya lakukan terhadap mereka. Bagaimana hasilnya? Mereka saat ini bersekolah di sekolah "urutan atas" di Jakarta dan dikenal pintar di sekolahnya. "I love you, son!"
Catatan:
Ini adalah catatan pengalaman saya mengajar anak usia SMP (kelas 2 dan 3) dan SMA.
Bagi ortu yang mempunyai anak usia SD, pola pengajaran seperti ini kurang cocok diterapkan pada mereka.
Suatu saat, insya Allah saya akan menuliskan bagaimana menghadapi anak usia SD. Yang pasti harus dengan suasana "fun". Hingga anak-anak tidak menyadari bahwa mereka telah belajar banyak saat belajar sama saya. Anak kelas 1 SMP pun, masih saya perlalukan seperti anak-anak SD, hanya ada perbedaan sedikit.
Tuesday, April 20, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
About Me
- Koeshartati Saptorini
- Saya, lulusan ITB, yang telah mengajar matematika SD hingga SMA selama lebih dari 20 tahun. (Dari tahun 1990 hingga sekarang).
Saya sangat menikmati dunia mengajar.
Saya juga mengajar anak SMA kelas Internasional hingga mereka bisa mengerti materi A Level matematika, fisika, dan kimia dengan lebih mudah.
Dalam mengembangkan materi pelajaran, saya mempunyai tenaga ahli, jurusan teknik fisika - ITB (S-1) dan teknik informatika - ITB (S-2).
Saat ini saya juga aktif memberi pelatihan "Bagaimana Mengajar Matematika Secara Mudah dan Menyenangkan" bagi guru-guru SD di Indonesia. Kegiatan ini dimotori oleh ITB88 Peduli Pendidikan.
Hubungi saya di:
facebook "Koeshartati Saptorini" https://www.facebook.com/rini.ks.5
No comments:
Post a Comment