Saturday, October 6, 2012

Mengajar Dengan Hati

Mengajar Dengan Hati
Suatu hari salah satu orang tua murid berkomentar tentang bagaimana cara saya mengajar. Inilah komentarnya, “Bu Rini itu kalau mengajar pakai hati sehingga semua murid menyukai Bu Rini dan memahami apa yang diajarkan Bu Rini. Saya sangat heran ketika anak saya pertama kali belajar sama Bu Rini selama 5 jam. Pada saat saya jemput, wajah anak saya segar-segar saja. Bertambah heran lagi ketika anak saya mampu belajar 12 jam non stop bersama Bu Rini. Bu Rini sudah klenger, anak saya masih santai dan semangat saja dalam belajar. Saya juga bersyukur, ketika melihat anak kedua saya juga bersemangat lagi dalam belajar.”

Apa Pentingnya "Mengajar dengan Hati?"

Untuk mengetahui apa pentingnya mengajar dengan hati, mari kita simak liputan dan ulasan tulisan di bawah ini.
Berikut penuturan salah satu murid saya ketika saya tanyakan mengapa dulu tidak menyukai pelajaran matematika.
Bu Rini : “Mengapa dulu kamu tidak menyukai pelajaran matematika?”
Bisma : “Karena tidak ada yang memberi pemahaman bahwa matematika itu indah.”
Bu Rini : “Berarti sekarang kamu menganggap matematika itu indah?”
Bisma : “Tetap tidak. Tetapi saya diberi semangat oleh Bu Rini untuk memahami matematika, bahwa matematika itu penting untuk kehidupan sehari-hari dan penting untuk pekerjaan.”
Bu Rini : “Mengapa dulu tidak mengerti apa-apa tentang matematika?”
Bisma : “Pada waktu kelas 1 SMP, guru saya membosankan. Gurunya pintar tetapi cara mengajarnya tidak bagus.” “Pada waktu kelas 2 SMP, gurunya sama saja.”
Bu Rini : “Bagaimana cara kamu menghadapi guru tersebut?”
Bisma : “Lihat papan tulis dan berpura-pura mengerti supaya tidak terlihat bodoh.”
Bu Rini : “Bagaimana hasil ulanganmu pada saat itu?”
Bisma : “Tidak remedial, mendapat nilai 7.”
Bu Rini : “Berarti kamu anak yang cerdas dong, tidak tahu saja mendapat nilai 7.”
Bisma : “Ah, tidak juga Bu.”
Pembicaraan dihentikan sejenak.
Bu Rini : “Apakah sekarang kamu suka pada pelajaran matematika?”
Bisma : “Suka, tetapi guru sekolah bikin down?”
Bu Rini : “Mengapa?”
Bisma : “Guru menganggap semua murid pintar. Guru tidak memikirkan murid pada saat test.”
Bu Rini : “Maksudnya?”
Bisma : “Misalnya waktu test sangat singkat. Soal yang dikeluarkan sangat susah.”
Bu Rini : “Mengapa menganggap soal itu sangat susah?”
Bisma : “Karena waktu yang sangat sempit membuat murid merasa panik. Soal yang mestinya bisa dikerjakan, menjadi tidak bisa dikerjakan.”
Bu Rini : “Bukannya karena kamu kurang terampil dalam mengerjakan soal?”
Bisma : “Bisa jadi. Tetapi dengan melihat kondisi kelas dimana jumlah anak yang tidak remedial hanya 5 orang (dari 37 murid), gurunya yang harus dipertanyakan.”
Bu Rini : “Sukakah kalian pada guru tersebut?”
Bisma : “Gurunya baik. Tidak suka pada guru hanya pada saat ulangan karena waktu yang sangat singkat. Jadi guru tersebut kita pandang sadis.”

Dari wawancara saya dengan beberapa murid secara terpisah kebanyakan murid menyatakan guru mereka pintar dan pada saat menjelaskan juga mudah dipahami murid. Tetapi rasa kagum murid berubah menjadi kebencian tatkala guru tersebut mengadakan ulangan harian, mereka mengatakan “Guru yang sadis”.
Sangat disayangkan sikap demikian. Guru mempunyai kemampuan mengajar dan komunikasi yang bagus tatkala menerangkan materi di depan kelas. Tetapi kelebihan guru tidak akan diingat oleh murid karena yang ada dalam benak murid “Beliau adalah guru yang sadis.” Sebagian besar murid yang diajarnya mengalami perasaan tidak berdaya ketika ulangan. Sebesar apapun usaha murid, murid merasa frustasi, malu, sedih, rendah, bodoh, dan pada akhirnya membenci mata pelajaran guru tersebut. Coba bayangkan, dari setiap ulangan, rata-rata hanya 5 dari 35 anak yang berhasil meraih nilai standard (6,5). Sebesar apapun usaha kita untuk menerangkan bahwa matematika itu mudah, akan menjadi sia-sia jika kita tidak mau tahu kesulitan murid dan tidak mencoba mengetahui penyebab sebagian besar murid (85% murid) tidak bisa mengerjakan test yang kita berikan.
Test/ ulangan sebaiknya tidak dipersulit. Buat test yang disesuaikan dengan kemampuan anak, materi yang telah diajarkan, dan tugas-tugas yang telah diselesaikan anak. Kalaupun tingkat kesulitan test dibuat lebih tinggi dari tugas yang biasanya dikerjakan di kelas maupun di rumah, beri waktu yang lebih lama sehingga murid merasa cukup waktu untuk memikirkan dan menyelesaikan test tersebut. Tidak ada gunanya kita memberikan test yang sangat sulit dan diselesaikan dalam waktu yang sangat sempit. Ini hanya akan membuat murid merasa tidak berdaya, membenci matematika, dan usaha keras kita untuk mengajar materi kepada anak akan sia-sia. Sayang bukan jika terjadi hal yang demikian?

Metode pengajaran yang bermutu sebaiknya dilihat secara keseluruhan, jangan dilihat secara parsial. Metode pengajaran yang bermutu tidak hanya diukur dari kemampuan guru ketika menerangkan materi pelajaran ke murid. Ada anggapan yang keliru bahwa suatu pelajaran akan bermutu jika pelajaran itu dianggap sulit oleh murid-murid. Makin banyak kegagalan yang dialami murid maka akan menambah gengsi pada pelajaran matematika. Anggapan ini sangat keliru. Padahal tujuan utama kita mengajar adalah bagaimana supaya murid-murid menyenangi matematika sehingga mereka menganggap bahwa sebetulnya matematika itu mudah. Sesulit apapun suatu materi, jika kita kemas dengan bahasa sederhana yang mudah dimengerti oleh siswa, maka materi yang sulit tersebut dapat dipahami oleh murid yang tidak tergolong pandai sekalipun.

Menarik minat murid untuk menyukai pelajaran matematika tidak bisa kita paksakan. Menonjolkan daya juang, kerajinan, dan ketekunan tidak ada faedahnya manakala murid sudah merasa tidak berdaya menghadapi soal-soal matematika. Yang perlu dilakukan adalah memberi tugas kepada murid sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing sehingga murid akan mudah menyelesaikan tugas tersebut, merasa bangga, dan merasa sukses telah berhasil mengerjakan soal. Rasa sukses ini akan mampu menarik minat murid untuk mempelajari materi selanjutnya dan mengerjakan soal dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Maka tatkala murid bertanya kepada saya, “Ibu, pada halaman berapa dan nomor berapa saja PR yang mesti saya kerjakan?”. Saya hanya menjawab,”Pilihlah semua soal yang bisa kamu kerjakan, yang penting kamu bahagia.” Biasanya murid-murid tersenyum mendengar jawaban saya. Dan anda pasti takjub dengan soal yang telah dikerjakan murid. Soal yang dikerjakan oleh murid ternyata melebihi dari materi yang telah diajarkan di sekolah! Maka kunci utama agar murid tekun adalah memberi kemungkinan kepada murid sehingga murid dengan bahagia mampu mengerjakan tugas yang diberikan.
Kepandaian murid dalam mata pelajaran matematika tidak hanya tergantung kepada bakat. Bakat tidak menentukan tingkat penguasaan murid terhadap suatu materi. Setiap anak dapat menjadi pandai pada mata pelajaran matematika jika anak tersebut diberi waktu yang cukup untuk mempelajari suatu materi, berhadapan dengan guru yang mampu memahami karakteristik anak, situasi sekolah yang kondusif untuk pengembangan pelajaran matematika anak, dan dorongan dari orang tua. Kemampuan bahasa anak juga sangat mempengaruhi kemampuan anak dalam memahami matematika.

Pengalaman belajar yang menyenangkan akan membuat anak semakin tertarik untuk mempelajari suatu pelajaran, khususnya matematika. Suasana belajar yang menyenangkan harus kita rancang sedemikian rupa sehingga menjadi suasana belajar sehari-hari. Maka pakailah hati ketika mengajar, memberi tugas, dan memberi soal ulangan. Mari kita renungkan bersama, bahagiakah kita jika berada pada posisi murid yang dibuat tidak berdaya dengan tugas dan ulangan yang sulit?

Pada saat di sekolah, pada waktu mengerjakan test murid merasa tidak berdaya dan bodoh. Sampai di rumah, murid bertambah beban dengan pertanyaan orang tua, “Berapa nilai ulangan matematika yang kamu raih?” Jawaban murid biasanya, “Tidak tahu, belum dibagikan” sambil beringsut pergi. Anak tidak akan memberi tahu perolehan nilai ulangan karena tidak mau mengecewakan orang tua, sementara ia juga tidak berdaya menghadapi betapa sulitnya soal-soal ulangan matematika di sekolah. Maka yang terjadi kemudian, ada sebagian orang tua menjatuhkan kesalahan dalam diri anak. Pelabelan “kurang rajin, malas, tidak bisa membagi waktu, kurang latihan, dll” acapkali dilontarkan orang tua kepada anak.
Sebagai orang tua, kita jangan menilai anak pada hasil akhir perolehan nilai. Tuntutan orang tua agar anak selalu meraih nilai tinggi sangat berbahaya pada pembentukan sikap mental anak. Orientasi anak dalam belajar tidak terletak pada proses belajar, tetapi orientasi hasil yang baik. Maka anak akan cenderung menghalalkan segala cara agar dapat memenuhi tuntutan orang tua meraih nilai yang tinggi, salah satunya dengan budaya mencontek. Budaya menghalalkan segala cara inilah yang menjadi akar terjadinya banyak korupsi di Indonesia. Kita hendaknya bangga dengan berapapun nilai ulangan/raport yang diperoleh anak kita. Kita lihat proses belajar anak dalam keseharian. Kita hargai usaha anak untuk belajar betapa jeleknya nilai ulangan yang diperoleh.

No comments:

About Me

My photo
Saya, lulusan ITB, yang telah mengajar matematika SD hingga SMA selama lebih dari 20 tahun. (Dari tahun 1990 hingga sekarang).
Saya sangat menikmati dunia mengajar.
Saya juga mengajar anak SMA kelas Internasional hingga mereka bisa mengerti materi A Level matematika, fisika, dan kimia dengan lebih mudah.
Dalam mengembangkan materi pelajaran, saya mempunyai tenaga ahli, jurusan teknik fisika - ITB (S-1) dan teknik informatika - ITB (S-2).
Saat ini saya juga aktif memberi pelatihan "Bagaimana Mengajar Matematika Secara Mudah dan Menyenangkan" bagi guru-guru SD di Indonesia. Kegiatan ini dimotori oleh ITB88 Peduli Pendidikan.
Hubungi saya di:
facebook "Koeshartati Saptorini" https://www.facebook.com/rini.ks.5